Rabu, 19 November 2008

SIGNIFIKANSI

PENDIDIKAN MASA DEPAN

Oleh : Zainudin Rifai(TP UNMUL)

1. Pendahuluan

Dewasa ini tak ada yang bisa memungkiri signifikansi pendidikan bagi pengembangan manusia dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Semakin luas wawasan pendidikan semakin besar kemungkinan kita menimbang dengan lebih baik apa yang harus dikerjakan dimasa depan dan bagaimana mengerjakannya dalam rangka menciptakan reformasi dan pemberdayaan manusia yang lebih baik dan lebih santun.

Beberapa futuris memberikan prediksi,ramalan dan proyeksi yang konservatif tentang pendidikan yang responsif terhadap perencanaan masa depan. Tekanan ini diletakkan pada kenyataan bahwa kita dapat mengidentifikasi alternatif pendidikan masa depan serta mengkaji kualitas yang pluralistik, dan kita juga dapat mengidentifikasi saling hubung antara alternatif-alternatif itu dengan kesejahteraan umum, memastikan kemampuan pembiayaan terhadap berbagai alternatif tersebut dan menawarkan program-program pendidikan yang berbeda-beda sesuai cita-cita dan aspirasi dari bagian terbesar masyarakat yang pluralistik.

Dalam pembicaraan pendek mengenai masa depan, sekarang datanglah waktunya kita membicarakan implikasi pendidikan selama dua atau tiga pulu tahun yang akan datang. Seorang peneliti kebijaksanaan mengatakan, masa depan dapat ditentukan jika masa depan itu terletak pada ketepatan pengumpulan data, pada kebijaksanaan kita memilih alternatif dan pada keberanian kita berbuat. Apakah tugas sekolah mengenai masa depan ini ? Yaitu, apakah tanggung jawab dan tugas yang menghadang dan yang memerlukan konsep yang lebih luas dari pendidikan yang hanya dapat disediakan oleh rumah, masyarakat, media masa, dan oleh lembaga-lembaga lain yang serupa? Bagaimana lembaga-lembaga ini dapat dipakai untuk menolong membalikkan tendensi yang selama beberapa tahun terakhir ini tetap menghadang generasi sekarang yaitu berupa risiko kerusakan lingkungan yang tidak dapat diubah lagi ?. Bagaimana kita dapat menghindarkan kerusakan yang timbul baik terhadap diri kita sendiri maupun pada anak-anak yang akan mewarisi bentuk apapun di dunia yang akan kita tinggalkan ini.

2. Tanggung Jawab Pendidikan

Seperti yang dikemukakan oleh Wilma Longstreet dalam monografinya (Beyond Jengcks: The Myth of Equal Schooling) tampaknya kita telah beranjak dari dongeng yang mengatakan bahwa sekolah dapat mengubah segalanya,sekarang kita dihadapkan pada anti dongeng yang artinya sekolah sebenarnya dapat melakukan sedikit sekali terhadap perubahan.

Apa sebenarnya yang dapat dilakukan oleh sekolah, tampaknya terletak di suatu tempat antara dongeng sekolah yang tidak dapat berbuat kekeliruan(infallibility) dan anti dongeng impotensinya. Terhalang oleh ketiadaan dana , terhambat oleh kelayakan politik, diasuh oleh guru-guru dari zaman kolonial, diduduki oleh orang yang naik dengan cepat dari sekolah dasar ke pimpinan universitas yang sering kali ditempatkan secara serampangan dan dikenai oleh kritik-kritik minoritas yang keras. Walaupun demikian sekolah telah mampu memperbaiki kualitas guru-gurunya, meladeni bagian penduduk yang makin lama makin besar, dan menjaga keberhasilan akademiknya yang meningkat.

Masalahnya bukan apakah sekolah merupakan sumber domestik yang besar, tetapi bagaimana sekolah dapat sebaik mungkin dipakai selama beberapa puluh tahun yang akan datang, bagaimana sekolah dapat mengabdi pada negara dengan sangat efektif. Salah satu tugas utama kita sebagai pendidik dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi adalah menyatu bersama warga lainnya balam menetapkan potensi-potensi yang timbul dari pendidikan dan sekolah, serta dalam menetapkan tanggung jawab yang muncul, dan dan dengan bagaimana kedua nya dapat mendatangkan hasil secara penuh sementara dunia ini berusaha memperbaiki diri dan ketidaksamaan, eksploitasi, ketidakmanusiaan peperangan dan tensi yang akut yang telah merendahkan martabat kemanusiaan.

3. Potensi Signifikansi Pendidikan Masa Depan

Signifikansi pendidikan di hari esok dapat diringkaskan menjadi 4 butir yaitu :

Pertama, pendidikan penting karena pendidikan menyediakan wahana yang telah teruji untuk implementasi nilai-nilai masyarakat yang berubah dan hasrat masyarakat yang muncul yang menimbulkan nilai-nilai baru. Seperti kaca merefleksikan masyarakat, sekolah tidak menciptakan hari esok tetapi mencerminkan kebudayaan yang berubah mengikuti perkembangan zaman dan menyiapkan anak-anak untuk berperan serta secara lebih efektif dalam usaha terus-menerus untuk mendapatkan jalan hidup yang lebih baik. Apalagi dengan populasi sekolah yang pesat memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan yang lebih dalam memilih sekolah yang tepat bagi anaknya, sekolah harus mendesain kembali pengalaman –pengalaman anak dengan sedemikian rupa sehingga dapat membetulkan kesalahan-kesalahan yang lama baik teori maupun praktek , sehingga pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien untuk mendapatkan tujuan pendidikan yang pasti.

Kedua, banyak masalah pokok waktu yang harus dapat diatasi dengan pendidikan, jika pengertian tentang tujuan pendidikan dapat diperoleh kembali. Sebenarnya masalah kita bukan kekurangan tujuan pendidikan pada buku petunjuk kurikulum dan buku teks, tetapi terdapat kejenuhan atas pernyataan yang berlawanan dan yang kabur.Beberapa diantaranya adalah tujuan mata pelajaran, masalah yang lain terbentang dari tujuan yang luas seperti pengembangan manusia dan penyesuaian hidup, ke tujuan yang ambisius seperti reformasi sosialdan bantuan untuk anak berbakat serta anak yang keterbelakang.

Bertambah pentingnya tujuan saat ini sebagaian besar ahli riset kebijaksanaan dan riset masa depan sependapat bahwa salah satu tugas negara ialah menentukan apa yang ingin dicapai selama beberapa dekade yang akan datangdan apa implikasi aspirasi itu terhadap sekolah. Karena kurangnya konsensus sosial tentang apa yang ingin dicapai masyarakat pendidikan akan tetap berada dalam air yang keruh, hal ini disebabkan oleh karena sekolah bukanlah lembaga yang bebas tetapi berfungsi sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, karena sekolah harus merefleksikan keadaan sosial masyarakatnya.

Ketiga, mengingat tututan besar yang akan dibebankan pada pendidikan, pentingnya pendidikan di dunia ini pada tahun 1980an ditunjukkan oleh timbulnya fleksibilitas dan respon terhadap perubahan dan alternatif pendidikan. Di masa lampau, sekolah telah cenderung mempertahankan ide-ide dan tradisi-tradisi usang, semuanya dipeti kemaskan dengan aman untuk diajarkan di ruang kelas. Tanpa merendahkan arti masa lampau, sumber pendidikan kita dapat pula dipakai dengan cepat untuk implementasi alternatif hari esok yang paling baik.

Keempat, perbaikan iklim psikologis sekolah dapat mencapai satu signifikansi baru bagi pendidikan selama dekade yang akan datang. Keamanan adalah persiapan terbaik bagi hari esok yang tidak aman. Pendidikan perlu menciptakan suatu keamanan dari dalam (inner security) sebagai suatu penangkal bagi ketidak pastian. Kemauan untuk memberikan kontribusi menjadi tidak berarti tanpa motifasi untuk berkorban.

Secara ringkas, pendidikan secara potensial penting karena :

  1. Pendidikan adalah cara yang mapan untuk memperkenalkan siswa pada keputusan sosial yang timbul.
  2. Pendidikan dapat dipakai untuk menanggulangi masalah-masalah sosial tertentu.
  3. Pendidikan telah memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru.
  4. Pendidikan barangkali merupakan cara terbaik yang dapat ditempuh masyarakat untuk membimbing perkembangan manusia sehingga pengamanan dari dalam berkembang pada setiap anak dan karena itu dia terdorong untuk memberikan kontribusi pada kebudayaan hari esok.

4. Pentingnya Hari Esok Bagi Pendidikan

Pentingnya hari esok bagi pendidikan secara terbalik dapat dikatakan bahwa hari esok memiliki arti penting bagi pendidikan, pengkajian tentang berbagai alternatif serta opsi yang terbentang dimuka manusia kelihatannya mengamanatkan perlunya perubahan pendidikan besar-besaran dari perubahan konten substantif bidang-bidang tertentu. Bentuk hari esok kita yang probalistik itu juga telah menolong banyak peneliti kebijaksanaan akan perlunya perubahan besar pada struktur sekolah tradisional dari masa awal kanak-kanak sampai pendidikan menengah atas, termasuk perubahan pada metode dan prosedur yang diinginkan oleh suatu “format pendidikan” yang baru.

Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa perubahan telah menghadang kita begitu cepatnya sehingga kita telah digiring keluar dari hari kemarin dan didesak memasuki hari esok tanpa diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri kita dengan hari ini . Seperti yang telah dikatakan Alvin Toffler beberapa tahun sebelum ia menerbitkan buku Future Shock, kita menderita “ … disorientasi yang memusingkan yang ditimbulkan oleh kedatangan hari esok begitu cepat”.

5. Kesimpulan dan Saran

Usaha mencari pengembangan pendidikan masa depan yang baru bagi anak didik kita, tidak berarti bahwa kita kurang menghargai konten substantif. Barangkali tidak seorangpun ahli mengusulkan agar dicarikan ganti bagi kemampuan anak membaca dan menginterpretasikan nuansa bahan cetak.Fondasi yang penting adalah perubahan terhadap iklim belajar serta mencari pendekatan baru dan meluas terhadap pembelajaran konten.Ada beberapa saran agar anak didik mampu menghadapi alternatif masa depan dengan baik yaitu :

  1. Perlunya persiapan fisik dan mental yang cermat serta tindak lanjut yang memadai.
  2. Perlunya pengalaman kumulatif dari kognitif,afektif dan psikomotor melalui pendidikan di sekolah.
  3. Pengembangan individual setiap anak didik secara optimal.
  4. Usaha yang cermat untuk membentuk pada setiap anak didik agar berpandangan positif.
  5. Pengembangan citra peranan masa depan yang menggambarkan konsep realistik yang menimbulkan kepuasan, harga diri , dan kemuliaan.
  6. Memanfatkan masyarakat sebagai alat bantu belajar, artinya menciptakan lingkungan masyarakat bukan sebagai sekolah alternatif tetapi sebagai penyokong yang berarti bagi sekolah.

Book Report ini berasal dari :

Judul asli : The Educational Significance of The Future

Pengarang : Harold G. Shane

Penerbit : Phi Delta Kappa Educatoinal Foundation

Tahun : 1973

MENGAPA MANUSIA HARUS DIDIDIK

1. HAKEKAT MANUSIA

Pada hakekatnya manusia adalah makhluk monodualistis. Artinya adalah manusia yang nampaknya satu sebenarnya terdiri dari dua unsur yaitu unsur jiwa dan unsur raga. Disebut monodualis karena dua unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebutan manusia tetap diberikan selama kedua unsur tersebut belum berpisah, artinya jiwa tetap ada dalam raga dan raga tetap ada dalam jiwa. Dalam kehidupannya sejak lahir kedunia,kedua unsur ini selalu berkembang menuju kearah yang lebih baik dan sempurna secara bersama-sama yang akhirnya diharapkan mencapai keselarasan,keserasian dan keseimbangnan dalam hidupnya.

Dari dua unsur yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan tersebut, William Stern, seorang ahli ilmu jiwa menyebutnya sebagai suatu unitas multipleks yang artinya adalah

  • - Unitas, artinya bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu jiwa dan raga yang merupakan suatu kesatuan bulat dan utuh yang tidak dapat dipisahkan.Kegiatan jiwa baru nampak apabila diwujudkan dalam kegiatan raga.Begitu pula sebaliknya bahwa kegiatan raga itu ada karena didorong oleh jiwa.

    - Multipleks,menunjuk pengertian bahwa sebenarnya jiwa dan raga masih terdiri dari banyak unsur. Yang disebut raga terdiri dari banyak unsur misalnya :rambut,kepala, alat pencernaan,tangan, kaki dan sebagainya.Sedangkan yang disebut jiwapun terdiri dari banyak unsur,unsur-unsuir yang kita kenal adalah gejala jiwa. Ada 4 unsur gejala jiwa yaitu :

1. Gejala cipta,misalnya pengamatan,khayalan,pikiran,ingatan.

2. Gejala rasa, misalnya harga diri, rasa senang dan tidak senang,rasa akan keindahan rasa sosial dan rasa kemanusiaan.

3. Gejala karsa, misalnya cita-cita,kehendak,hawa nafsu,hasrat,refleks.

4. Gejala campuran, artinya campuran dari gejala-gejala diatas,misalnya kecerdasan,perhatian,sugesti,kelebihan dan sebagainya.

Dari masing-masing gejala jiwa dan unsur raga tersebut juga merupakan satiu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda-beda.Tugas dan fungsinya dapat dibedakan tetapi eksistensinya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan

Hakekat manusia ditinjau dari agama, maka manusia terdiri dari makhluk duniawi dan makhluk ukhrowi.Manusia yang berkeyakinan bahwa setelah hidup didunia akan ada kehidupan lagi yaitu di alam akhirat dan akan hidup disana selamanya.Oleh karena itu selama hidup didunai manusia mengejar kebutuhan duniawi untuk memenuhi kepentingan hidup jiwa dan raganya yang sekaligus mempersiapkan diri untuk hidupnya diakhirat dalam rangka memenuhi kebutuhan jiwanya.

Menurut pendapat ahli yang lain bahwa manusia itu hakekatnya adalah makhluk yang berbudi(homo sapien), makhluk yang berakal(homo rational), makhluk yang bertuhan( homo religius), makhluk yang kreatif(homo faber), animal educadum(binatang yang dapat dididik), zon politicon(mempunyai kesadaran politik), sebagai makhluk etis( memahami kesadaran dan memahami norma-norma) dan sebagainya.Dari berbagai keterangan diatas, akhirnya kita mengerti bahwa manusia itu adalah makhluk yang monopluralis,artinya terdiri dari banyak segi tetapi mertupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan .

2. HAKEKAT PENDIDIKAN

Secara etimologi, pendidikan berasal dari bahasa yunani, paedagogiek. Pais artinya anak, gogos artinya membimbing atau tuntunan dan iek artinya ilmu. Jadi dari segi etimologinya berarti paedagogiek adalah ilmu yang membicarakan bagaimana cara menuntun atau membimbing anak.Dalam bahasa inggris pendidikan diterjemahkan dengan education,education dalam bahasa yunani berarti educare yang berarti membawa keluar yang tersimpan didalam jiwa anak untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang.Dalam bahasa jawa pendidikan adalah panggulo wenthah yang artinya mengolah, membesarkan,mematangkan anak dalam pertumbuhan jasmani dan rohaninya.

Pendidikan dalam bahasa indonesia yang berati proses mendidik yang mempunyai dua hal yang saling berhubungan yaitu pendidik dan peserta didik, jadi mendidik mempunyai pengertia komunikasi dua arah. Definisi pendidikan banyak ragamnya tergantung dari sudut pandang masing-masing.Ada yang memberi definisi pendidikan dilihat dari bagaimana proses terjadinya pendidikan itu sendiri,tanpa melihat tujuan apa yang akan dicapai yang lebih bersifat deskriptif. Dilain pihak ada yang mendefinisikan pendidikan yang didasarkan pada tujuan apa yang hendak dicapai melalui proses pendidikan itu sendiri yang lebih bersifat normatif.

Berikut ini adalah beberapa contoh definisi mendidikdan pendidikan dari beberapa ahli :

1. Brubacher, dalam bukunya “Modern Philosophies of Education ” disebutkan bahwa pendidikan adalah proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam,teman dan dengan alam semesta.

2. M.J. Langeveld, mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak(yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.

3. John Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.

4. Ki Hajar Dewantoro, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran(intelek),dan jasmani anak-anak.Maksudnya adalah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.

5. Undang-undang RI no.2 Tahun 1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perananya dimasa yang akan datang( pasal 1)

Dari beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa :

1. Hakekat pendidikan adalah tuntunan /pimpinan / bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh sesorang kepada orang lain dan harus dapat merealisasikan potensi yang dimiliki oleh anak didik yang besrfat menumbuhkan serta mengembangkan baikjasmani maupun rohani

2. Hakekat pendidikan adalah proses mendidik yaitu proses interaksi yang positif antar manusia yang ditandai dengan keseimbangan antara kedaulatan peserta didik dengan kewibawaan pendidik.

3. Hakekat pendidikan adalah usaha meningkatkan kualitas kehidup baik secara pribadi maupun masyarakat.

3. EMPAT ALIRAN DALAM PENDIDIKAN

Masalah ini sudah lama diperdebatkan oleh para ahli pendidikan. Hal ini nampak adanya beberapa teori yang mempertentangkan apakah pendidikan itu perlu atau tidak bagi manusia?. Hal ini tercermin dari lahirnya aliran-aliran pendidikan, diantaranya yang terkenal adalah 1).Empirisme, 2). Nativisme, 3). Naturalisme, 4).dan Konvergensi.

1. Aliran Empirisme

Aliran ini dipelopori oleh John Locke yang lahir tahun 1632, berpendapat bahwa ide-ide tidak dibawa sejak lahir akan tetapi muncul dari pengalaman indrawi,semua yang dipelajari didasarkan pada sensasi dan refleksi. Anak-anak belajar dan mengingat melalui ide-ide yang diasosiasikan yang berasal dari sensasi,ditirukan dengan pemahaman,ide-ide yang memberikan keberhasilan,kenikmatan dan kesenangan.

Locke membuat suatu perbedaan yang tajam antara pendidikan dan yang semata-mata diperoleh(melalui asosiasi) dari informasi verbal untuk diingan dan diceritakan.Ia menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang terdapat pada anak baikjasmani dan roani,yang diperlukan supaya mereka sehat, berbudi, dan berhasil dalam kehidupannya.

Gagasan John Locke ini dimuat dalam bukuya Essay Concerning Human Understanding”, inti dari buku ini adalah tentang asal,kepastian, dan banyaknya pengetahuan manusia. Jiwa ini waktu dilahirkan masih putih bersih sebagaimana meja lilin(tabula rasae). Guru atau orang tua paling menentukan hasil pendidikan. Pendidikan dibentuk oleh pengalaman, bukan tergantung dari dasar. Dengan demikian ,ajar merupakan penentu akan menjadi apa anak kelak.Teori mendapat dukungan dari golongan behaviorisme yang dipelopori oleh Pavlov(Rusia) dan Watson(Amerika) bahkan Watson sanggup menjamin orang tua menginginkan jadi apa anaknya seniman,negarawan,usahawan,dokter,guru,ahli teknik,sastrawan,peneliti, bahkan perampok sekalipun, karena aliran ini mengabaikan bakat dan potensi-potensi yang dibawa sianaksejak lahir.

2. Aliran Nativisme

Aliran ini dipelopori oleh Arthur Schopenhouer (1788-1860) dan juga dianut oleh Prof. Heymans, secara etimologis nativis berarti pembawaan. Menurut teori ini pendidikan itu tidak perlu karena pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan manusia. Manusia lahir sudah dengan pembawaannya yang sama sekali tidak dapat diubah oleh pendidikan , bahkan dapat merusak perkembangan anak secara natural. Jadi anak hendaknya diberi kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara kodrati sebab secara kodrat anak adalah baik.

Aliran ini berpandangan, sekalipun diperukan pendidikan tetapi pendidikan yang bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Dengan kata lain, pendidikan tidak dimaksudkan untuk merubah karena memang dianggap tidak kuasa untuk merubah. Aliran ini bersifat pesimistik karena melihat sesuatu dengan kacamata hitam.

Aliran ini kurang populer untuk pengembangan konsep pendidikan , karena sesuai dengan sifat dasar pendidikan yakni merubah. Jika pembawaan lebih berperan berarti usaha pendidikan sia-sia.

3. Aliran Naturalisme

Aliran ini hampir sama dengan aliran nativisme, aliran naturalisme dipelopori oleh Jean Jecques Rousseau (1712-1778) yang bersemboyan kembali ke alam “ back to basic ” dalam satu bukunya yang berjudul “emile ia berkata pada dasar manusia itu baik maka biarkanlah berkembang sesuai perkembangan alamnya..Jangan dididik seperti orang dewasa menurut ukuran ukuran orang dewasa.

Rousseau membagi rentang kehidupan individu menjadi 5 periode pertumbuhan. Periode pertama ialah masa bayi dan kanak-kanak( 0tahun-5tahun) periode ini jangan ada campur tangan orang dewasa terhadap dorongan dan tingkah laku alamiah anak, kedua usia 5 – 12 tahun, periode ini ditekankan pada latihan indra dan fisik melalui pengalaman, ketiga usia 12 – 15 tahun periode ini biarkanlan anak mencari dan menemukan untuk dirinya hukum alam dan ilmu pengetahuannya, keempat usia 15 – 20 tahun pada periode ini bawalah anak menjalani pengalaman-pengalaman sosial,moral dan fisik yang penting dan periode kelima adalah usia diatas 20 tahun,arahkanlah manusia dewasa awal ini pada pemilihan teman hidup yang cocok.

4. Aliran Konvergensi

Dipelopori oleh William Stern(1871 – 1938) seorang filsuf jerman yang menyatakan bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh dan hasil perpaduan antara faktor bakat/pembawaan dan faktor alam sekitarnya. Faktor pembawaan atau potensi yang dibawa sejak lahir dapat berkembang apabila diberi rangsangan dari luar yang berupa pendidikan. Aliran ini didukung oleh Woodwarth dan Maqueis, termasuk di Indonesia berkembang aliran ini yang dipelopori Ki Hajar Dewantoro dengan “Taman Siswa” nya dan dikembangkan melalui prinsip trikon, yaitu konsentris,kontinuitas dan konvergen. Trikon ini menunjuk kepada pengaruh lingkungan dan pertemuan dari unsur-unsur anak dengan lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhannya secara terus menerus.

4. MENGAPA MANUSIA HARUS DIDIDIK ?

Bertolah dari aliran konvergensi inilah saya mencoba menganalisa dan memberi jawab mengapa manusia perlu mendapatkan pendidikan dan mengapa manusia harus dapat mendidik ?

Seperti telah diuraikan diatas bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah animal educable (binatang yang dapat dididik) ,animal educandum (binatang yang harus dididik) dan homo educandus( makhluk yang dapat mendidik) . Dari hakekat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi manusia. Oleh karena itu mengapa manusia perlu dididik maka dapat ditinjau dari berbagai aspek.

Pada waktu kehidupan permulaan(bayi/anak-anak), mula-mula yang paling berperan adalah dari segi fisik, kemudian secara berangsur-angsur segi rohani berganti memegang peranan penting. Perkembang fisik indifidu ditentukan oleh dua faktor yaitu maturation (kematangan) dan learning (belajar). Seorang anak akan dapat berjalan jika memiliki tulang-tulang kaki dan otot yang cukup kuat disertai dorongan untuk berjalan adalah faktor kematangan. Tetapi kematangan itu sendiri belum cukup untuk memiliki kemampuan untuk berjalan, ia harus belajar terus dan dibantu oleh orang lain.

Ditinjau dari sisi lain hakekat manusia adalah sebagai makhluk indifidu dan sosial makhluk dunia dan akhirat, terdiri dari unsur jiwa dan raga yang diciptakan oleh tuhan lewat hubungan orang tua untuk hiduh bersama secara sah lewat pernikahan, karena itu secara kodrat orang tua harus mendidik anak-anaknya secara bertanggung jawab.Orang tua tidak cukup hanya memberikan makan minum pakaian kepada anaknya,tetapi harus berusaha bagaimana agar anaknya menjadi pandai,bahagia berguna bagi masyarakat bangsa dan negara.

Pada hakekatnya usaha-usaha yang dlakukan dalam pendidikan memang tertuju pada masalah keseimbangan keselarasan dan keserasian perkembangan kepribadian dan kemampuan manusia.Emmanuel Kant mengatakan bahwa “ manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Prof. Dr.N. Driyarkoro memberi istilahhominisasi ke humanisasi “ (memanusiakan manusia). Jadi jika manusia itu tidak dididik maka tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya.

Perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor dari dalam dirinya dan faktordari luar, Faktor dari dalam meliputi semua potensi yang dibawa sejak lahir, potensi ini tetap terpendam apabila tidak dikembangkan melalui pendidikan,inipun juga tergantung dari kemauan(aktivitet). Jadi pendidikan fungsinya untuk mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut. Faktor dari luar yang dapat mempengaruhi perkembangan manusia yaitu lingkungan alam.Artinya lingkungan anak dengan anak ,anak dengan orang dewasa, orang dewasa dengan orang dewasa yang saling berinteraksi.Lingkungan budaya berupa sopan santun,TV,majalah, dll.serta lingkungan alam secara geografisnya, namun karena perkembangan iptek pengaruh lingkungan alam dapat diatasi.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hakekat manusia dan hakekat pendidikan,kiranya cukup jelas dalam memberikan alasan mengapa manusia perlu dididik dan mendidik, pendidikan harus dapat mengembangkan semua potensi yang ada pada manusia.Baik perkembangan cipta,rasa, karsa, ketrampilan, jasmani dan rohani, moral maupun ketuhanan. Dan didukung oleh lingkungan yang kondusif terhadap pertumbuhan sianak menuju kedewasaannya. (by.ZAINUDIN RIFAI,TP.2008).

DAFTAR PUSTAKA

Ekosusilo, M dan Kasihadi, R.B. 1993. Dasar-dasar pendidikan, Semarang.

Effhar Publishing.

Hasbullah,2006. Dasar-dasar ilmu pendidikan, Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

Hidayanto, D.N. 2007. Pemikiran pendidikan dari filsafat ke ruang kelas . Jakarta : Transwacana.

ANALISIS KRITIS

TENTANG

MATEMATIKA SEBAGAI ILMU DEDUKTIF

1. Pengantar

Nama ilmu- ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasarkan atas pengalaman seperti halnya yang terdapat didalam ilmu ilmu empirik , melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (penjabaran-penjabaran). Bagaimana orang dapat secara tepat mengetahui ciri-ciri deduksi , merupakan satu masalah pokok yang dihadapi oleh filsafat ilmu. Dewasa ini pendirian yang paling banyak dianut orang mengatakan bahwa deduksi ialah penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta aturan aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap tidaklah mungkin titik-titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar.

Ilmu-ilmu deduktif ialah ilmu-ilmu matematika. Dalam hal ini sesungguhnya dalil-dalil tidaklah dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan empirik, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang sudah diperoleh sebelumnya. Dan yang terakhir ini pada gilirannya adalah dibuktikan dari dalil-dalil yang sudah ada sebelumnya, dan begitu seterusnya. Dalil-dalil matematika dibuktikan kebenarannya berdasarkan atas dalil-dalil yang lain, dan bukannya berdasarkan pengamatan. Kiranya jelas bahwa secara demikian orang tidak akan dapat bertanya-tanya terus menerus secara tidak terbatas. Sudah pasti pada suatu saat tertentu orang harus memulai dengan dalil-dalil yang diterima kebenarannya tanpa bukti, yaitu aksioma-aksioma atau postulat-postulat.

2.konsep penalaran deduktif

Ada masalah- masalah matematika yang erat hubungannya dengan aksioma dan postulat. Ada perbedaan yang mendasar secara metodologik antara ilmu-ilmu deduktif dengan ilmu-ilmu non deduktif(ilmu induktif). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam hal ini terdapat pula perbedaan mengenai obyek yang dibicarakan oleh kedua ilmu tersebut.

Dalam pandangan pertama matematika membicarakan bilangan-bilangan ,bangu-bangun geometrik, fungsi-fungsi ( domain dan kodamain) dan sebagainya. Tetapi jenis hal apakah sesungguhnya bilanga-bilangan dan sebagainya itu?. Dalam arti yang bagiamanakah orang dapat mengatakan bahwa hal-hal tersebut ada jika tidak melekat sepenuhnya pada bahan-bahan empirik tertentu dan bagaimanakah orang dapat mengenalnya?.

Kiranya cukup jelas bahwa masalah-masalah kefilsafatan mengenai matematika dipengaruhi oleh matematika itu sendiri. Dan perkembangan ini memang benar-benar menunjukkan perubahan-perubahan yang mendalam.Juga matematik pada awal mulanya merupakan ilmu empirik yang didasarkan atas diajukaknnya pertanyaan-pertanyaan yang kongkrit mengenai hitung menghitung, ukur mengukur, timbang menimbang dsb.tetapi sudah semenjak jaman yunani kuno matematika diusahakan ilmu deduktif.Jika kita mempelajari buku Euclid yang berjudu “Unsur-unsur” yang terbit kurang lebih tahun 300SM, tampaklah dengan jelas betapa sudah modernnya ilmu ukur pada waktu itu.Sudah barang tentu keketatan pembuktian serta perumusannya belumlah sempurna. Namun lama juga waktu yang harus dilalui yakni sampai masuk abad ke 19M, sebelum terjadi perbaikan perbaikan yang hakiki.

Sementara itu, isi matematika yang sejak dahulu sudah terdapat dalam beberapa hal,diperluas hal ini menyangkut hitungan tidak berhingga yang dikembangkan oleh Newton dan Leibniz pada abad ke 17M.Untuk sebagaian besar hal ini terjadi berdasarkan atas kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi ilmu alam, dan juga dalam hal ini metode-metode pembuktian yang semula, tidak lagi memadai ditinjau dari sudut pandangan modern . Yang demikian ini juga berlaku bagi hitungan probabilitas.

Perkembangan sejak awal abad ke 19 M bersifat mengebu-gebu .pada masa ini muncullah ilmu ukur non euclidien dan teori ilmu ukur lain yang bersifat penyimpangan timbul untuk pertama kalinya atau dikembangkan lebih lanjut(ilmu ukur proyeksi;topologi).Aljabar mengalami perubahan secara besar-besaran dengan dimasukkannya bidang-bidang baru yang banyak jumlahnya.Sejalan dengan itu terjadilah perbaikan perbaikan mengenai metode-metode pembuktian,teori-teori lama seperti aritmatika mengenai bilangan bilangan alami dibahas kembali dan diperbaiki dasar-dasarnya. Akibatnya ialah kita tidak dapat semata-mata berbicara mengenai terjadinya cabang-cabang baru. Disamping itu timbul kecenderungan kearah penyatuan(unification). Bidang-bidang yang sejak dahulu terpisah seperti aljabar dan ilmu ukur,kadang-kadang ternyata dapat ditangani dengan cara-cara kerja yang saling berkaitan, penyelidikan azas-azas menimbulkan terbentuknya ajaran himpunan yang ternyata penting sekali bagi matematika secara keseluruhan.

Apa yang diuraikan diatas itulah yang dimaksud bila matematika sebagai matematika abstrak. Hal-hal tersebut masih sedikit sekali yang merembes sampai ke matematika sekolah “ .Namun hendaknya diingat bahwa filsafat modern mengenai matematika senantiasa tertuju kepada matematika modern yang bersifat abstrak.

3. Fakta yang muncul dalam penalaran deduktif

a.) Ada suatau cara yang lebih simpel untuk memudahkan penalaran deduktif , misalnya cara membuktikan bahwa 180 derajat merupakan jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah dengan menggunakan penalaran deduktif yang proses pembuktiannya melibatkan teori atau rumus matematika yang lain yang sebelumnya sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga , yaitu “ Jika dua garis sejajar dipotong garis lain, maka sudut-sudut dalam berseberangannya adalah sama “ Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dua garis sejajar yang dipotong oleh dua garis yang salah satu garis dipotong oleh dua garis yang saling berpotongan.. Penalarang deduktif, suatu rumus , teorema , atau dalil tentang jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga telah dibuktikan dengan menggunakan atau melibatkan teori maupun rumus matematika sebelumnya yang sudah dibuktikan sebelumnya secara deduktif.

Dalam pandangan matematika “ benar “ atau “nalar “ berarti “ konsisten “ dan juga menunjukkan bahwa bangunan matematika telah disusun dengan dasar pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur pangkal dan relasi pangkal ) dan kumpulan sifat pangkal ( aksioma ). Aksioma atau sifat pangkal adalah semacam dalil yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun sangat menentukan, karena sifat pangkal inilah yang akan menjadi dasar untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya.

Depdiknas (2002: 6) menyatakan bahwa “ unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya “.Disamping itu , pengertian –pengertian matematika secara berantai didefinisikan dari pengertian sebelumnya. Sebagaimana aksioma yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi dasar pembuktian dalil atau sifat berikutnya, oleh karena itu pengertian pangkal tidak didefinisikan karena akan menjadi dasar pendefinisian pengertian atau konsep matematika selanjutnya.Hal ini sejalan dengan pendapat Jacobs ( 1982: 32) menyatakan bahwa “ deductive reasoning is a method of drawing consclusion from facts that we accept as true by using logic “ artinya penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika.

Sekali lagi , bangunan pengetahuan matematika didasarkan pada deduksi semata-mata kepada aksioma-aksioma yang dianggap benar tadi. Suatu hal yang banyak sudah jelas benarpun harus ditunjukkan atau dibuktikan kebenarannya dengan langkah-langkah yang benar secara dedutif. Karena itulah bangunan matematika dikenal sebagau mata pelajaran yang dikembangkan secara deduktif – aksiomatis atau sistem aksiomatik.

b.) Aksioma mengenai garis sejajar yang dapat dirumuskan sebagai berikut ( perumusan yang dilakukan oleh euclides berbeda tetapi setara dengan perumusan ini) : “Melalui titik P diluar garis lurus k terdapat satu garis lurus m yang sama-sama terletak dalam satu bidang dengan k dan tidak memotong k “ .

P m

k

Pada gilirannya kebenaran tadi didasarkan atas syarat yang diajukan oleh Aristoteles bagi azas-azas pertama sebuah ilmu. Menurut pendapatnya dan orang lain, kebenaran aksioma harusnya bersifat gamblang atau jelas seperti pembuktian kesejajaran dua buah garis atau lebih, apabila menggunakan pembuktian kontradiksi maka akan menemui kegagalan pada saat penyimpulan maka aksioma dianggap tidak benar. Hal ini karena kesalahan dalam mengambil cara pembuktian.

4. Pertanyaan pengembangan penalaran deduktif matematika

Ada beberapa masalah matematika yang dalam pembenarannya tidak bisa dengan pembuktian deduktif yaitu dengan pembuktian non deduktif ( penalaran induktif) atau kadang dapat dibuktikan dengan dua pendekatan yaitu pembuktian deduktif maupun dengan pembuktian induktif. Inilah fakta yang dapat dimunculkan pada beberapa topik tertentu. Misalnya untuk menjawab pertanyaan berikut :

“ Tunjukkan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800

Untuk menunjukkan tentang kebenaran pernyataan tersebut selain dengan pembuktian deduktif juga dapat dengan menggukan pembuktian induktif caranya :

  1. Membuat model segitiga sembarang dari kertas.
  2. Menggunting sudut sudut segitiga tersebut.
  3. Mengimpitkannya satu-persatu dari masing masing segitiga tersebut.

Dari setiap kelompok siswa yang melakukan dengan benar , maka dari 3 segitiga tersebut masing-masing akan membentuk sudut 1800. Beberapa kasus ini dapat dibuktikan dengan mencoba beberapa kali maka tetap hasilnya sama. Dengan demikian jelaslah bahwa induksi merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum( general ) berdasarkan beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar adanya. Sehingga pembuktian induksi dapat diterima dalam matematika.

Dari hal diatas, sekali lagi bangunan pengetahuan matematika didasarkan pada deduksi semata-mata,kepada aksioma-aksioma yang dianggap benar dan ditunjukkan kebenarannya melalui langkah-langkah yang benar melalui deduktif. Sedangkan penalaran induktif adalah suatu penalaran budi ,dimana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk kasus-kasus khusus, juga akan benar untuk semua kasus yang serupa dengan yang tersebut tadi untuk hal-hal tertentu.

5. Refleksi diri

Sudah dibahas diatas bahwa penalaran deduktif dengan berbagai contoh dalam topik di matematika dan mendapat dukungan dari beberapa ahli filsafat seperti aristoteles,dsb. Ternyata ada fakta-fakta di matematika yang dapat dibuktikan dengan penalaran induktif yang menurut buku pada judul makalah ini hanya menganggap matematika sebagai ilmu-deduktif.

Contoh yang mudah difahami dengan gamblang baik penalaran deduktif maupun penalaran induktif, yaitu :

1. Nurul Kasfita mati, Masye W meninggal,Abu Bakar tewas, ….,Marwan meninggal,jadi semua manusia akan mati.ini adalah penalaran induktif.

2. Semua manusia akan mati dan Nurul Kasfita manusia , jadi Nurul pada suatu saat akan mati. Ini adalah penalaran deduksi.

Proses penalaran induktif menjadi sangat penting apabila bergelut di ilmu pengetahuan empirik seperti IPA, bahkan tidak akan berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat umum namun pada sisi lainnya hasil yang didapat dari induksi tersebut masih berpeluang untuk menjadi salah seperti pendapat “makhluk hidup berasal dari makhluk tak hidup “ .Tetapi sebaliknya pada deduksi yang valid kesimpulan yang didapat tidak akan pernah salah jika premis-premisnya bernilai benar, inilah kelebihan dari penalaran deduktif khususnya pada matematika.( by.ZAINUDIN RIFAI TP.UNMUL 2008)


DAFTAR PUSTAKA

Soemargono,Soejono.Drs. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta : PT.Tiara WacanaYogya, 1997

Tim PPPG Matematika, Materi pembinaan di daerah matematika SMA , Depdiknas,Dirjen Dikdasmen : Yogyakarta, 2004